Kejahatan korporasi “corporate crime” dapat diartikan sebagai suatu bentuk kerjasama (kelompok) yang sifatnya terstuktur dalam suatu tindak kejahatan (pidana). Masalah “kejahatan korporasi” (corporate crime) akhir-akhir ini menjadi pembicaraan yang hangat dan menarik dipermasalahkan, dalam kaitannya dengan upaya pemerintah untuk menaggulangi kejahatan ekonomi (economic crime). Kejahatan ekonomi merupakan kejahatan yang sering menimbulkan akibat serius karena dapat merusak struktur dan sistem ekonomi nasional bahkan mungkin dapat mempengaruhi ekonomi global. Indonesia sebagai negara berkembang dengan suasana melajunya proses pembangunan telah membuahkan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat, sementara pada sisi lain merasakan adanya tendensi jenis kriminalitas tertentu yaitu kejahatan ekonomi yang apabila dipandang dari segi kualitas menunjukkan adanya peningkatan. Secara kualitatif, dari waktu ke waktu mengalami perubahan dengan cepat, seirama dengan bergerak majunya proses pembangunan, terutama didalam kaitannya dengan pemanfaatan teknologi modern. Dikatakan demikian karena selain para pelaku kejahatan, umumnya tergolong skilled person yang mampu memanfaatkan teknologi modern juga didalam kegiatannya terhimpun didalam suatu organisasi yang rapi dan menjurus ke arah modus “kejahatan korporasi.”
Harus disadari bahwa perhatian terhadap kejahatan korporasi pada masa silam belum begitu mendalam bahkan dapat dikatakan masih terpusat pada kejahatan konvensional. Kurangnya perhatian para ahli kriminologi dan sosiologi terhadap kejahatan korporasi, besar kemungkinan disebabkan adanya beberapa hal antara lain:
a. Kompleksnya sifat kejahatan yang terorganisir secara rapi (organized crime), selain dari pada itu karena rumitnya struktur korporasi. Ini berarti untuk melakukan penelitian membutuhkan keahlian khusus.
b. Pada umumnya perangkat perUndang-Undangan tentang korporasi disusun oleh para birokrat tanpa melibatkan para praktisi dibidang criminal justice agencies.
c. Sementara dinegara berkembang seperti Indonesia, kejahatan korporasi merupakan hal yang baru, sehingga penyediaan dana untuk menyelenggarakan penelitian dari para ahli lebih tercurah pada kejahatan konvensional, jika dibandingkan dengan kejahatan korporasi.
Dalam pemahaman sebagaimana yang terurai diatas, bahwa “kejahatan korporasi” adalah termasuk kategori sebagai “organizational crime” yang terjadi dimana para pelaku (perpetrators) didalam aktifitas perbuatannya terdapat korelasi yang sangat erat dan kompleks yang berorientasi dalam basis organisasi korporasi dan bukan karena jabatannya.
Selain itu perlu dibedakan antara fungsi organisasi sebagai hubungan tata kerja secara struktural untuk menyalurkan berbagai tanggung jawab atau alat untuk menjamin terpeliharanya koordinasi kerja yang baik dengan fungsi korporasi sebagai wadah kegiatan organisasi, walaupun keduanya merupakan wahana (vehicle) untuk melancarkan aktifitas di dalam melakukan kejahatan. Selain perlu adanya pembedaan fungsi organisasi dengan fungsi korporasi, juga perlu dibedakan “titik sentral perbuatannya” yang menyangkut tujuan atau kepentingannya karena akan memberikan konsekuensi yang berbeda. Dalam hal beberapa orang eksekutif (corporate excecutive) telah melakukan perbuatan pidana baik atas nama probadi maupun atas nama korporasi yang dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan korporasi, maka perbuatan demikian dapat dikatakan sebagai “kejahatan korporasi”. Akan halnya jika eksekutif korporasi melakukan perbuatan pidana yang menyimpang dari tujuan korporasi, misalnya melakukan “penggelapan” sehingga mendatangkan keuntungan pribadi hal mana terjadi semata-mata dalam kaitannya dengan jabatan di dalam korporasi, maka perbuatan itu disebut sebagai “white collar atau occupational crime.”
Berbicara tentang “kejahatan korporasi” tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang “organized crime”. Hal ini dikarenakan dalam korporasi terdapat organisasi tata kerja yang memiliki eksistensi yang sangat dominan didalam mencapai tujuan korporasi, sehingga terdapat korelasi keterkaitan satu sama lain. Terminologi “organized crime” dapat dilawankan dengan “personal crime” yang memiliki basis pada orang
Dengan maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi (Personal gain) dan tidak ada hubungannya dengan Personal Business.berbeda dengan Orgainized crime, dimana kejahatan ini dilakukan oleh dan melibatkan beberapa orang yang terkoordinir secara struktural, para anggotanya berdisiplin tinggi dan beberpa orang diantaranya memiliki keahlian tertentu. Tujuan utamanyauntuk memperoleh keuntungan di bidang ekonomi (Economic gain), walaupun kadang-kadang sementara anggota memiliki tujuan guna memperkuat status dan kekuasaannya. Didalam skala besar kadang Organized Crime dikendalikan oelh beberpa sindikat yang di kenal Mafia, serta lazimnya bergerak dibidang, Business secara illegal bahkan memiliki pula business yang bersifat legal. Organisasinya sangat rapi sehingga tidak mudah terdeteksi oleh aparat keamanan, maka untuk menanggulangi kejahatan tersebut memrlukan teknik dan pendekatan khusus serta waktu yang panjang.
Sebagaimana disinguung bahwa”koporasi” sebagai wadah seluruh kegiatan organisasi Business, dapat dijadikan wahana untuk melakuakan kejahatan yang dalam hal ini dilakukan oleh para eksekutif korporasi. Begitu banyaknya jenis serta struktur organisasi korporasi dan pada umumnya berbentuk badan hukum resmi, sehingga suliot untuk mengetahui liku-liku kegiatan operasional badan usaha/ korporasi dimaksud.
Didalam konteks “Low enforcement” terhadap kejahatan korporasi, dihadapkan pada tiga masalah penting yaitu:
a. Tentang pertanggungjawaban pidana daripada korporasi
b. Sistem pemindaan terhadap korporasi
c. Teknik penyidikan yang efektif
Pembentukan korporasi sebagai badan hukum, umumnya dituangkan dalam akta pendirian, diantaranya memuat tentang nama korporasi jenis kegiatan usahanya serta susunan pengurus yang layak bertanggung jawab untuk dan atas nama korporasi. Oleh karena itu, maka secara fisik semua kegiatan korporasi diwakili oleh satu atau beberpa eksekutif korporasi, konsekuensi logis secara teoritis manakala korporasi melakukan kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari pada perbuatan para eksekutifnya. Para eksekutif korporasi pada hakekatnya adalah tidak lebih dari pada individu-individu yang bertindak bersama-sama karena adanya keterikatan didalam korporasi,sebagai kesatuan tata hubungan kerja yang bersifat khusus. Persinifikasi yang terwujud didalam suatu sistem mekanisme, terhimpun didalam suatu mata rantai kesatuan hubungan kerja, selain bergerak dibinag hukum perdata juga dapat memasuki bidang hukum pidana.
Apabila ternyata eksekutif korporasi didalam kegiatannya telah melanggar hukum pidana kendatipun mereka melakukan perbuatan semata-mata untuk kepentingan atau keuntungan korporasi, maka kepada pribadi para pelakulah yang layak diminta pertanggungjawaban secara pidana, bukan kepada korporasinya yang secara fisik tidak ada. Jalan pemikiran lain ialah seandainya “korporasi” dapat dihukum, sudah barang tentu akan menimpa seluruh pemegang saham, yang incasu para pemegang saham dimaksud sama sekali tidak mengetahui ikhwal kejahatan yang dilakukan oleh eksekutif korporasi, sehingga secara hukum merek tidak layak untuk diminta pertanggungjawaban apalagi jika mereka harus menerima hukuman. Dilain piha k dari sistem pemindaan yang ada, juga sulit menemukan hukuman mana yang paling tepat untuk korporasi, yang jelas hukuman badan (penjara, kurungan atau hukuman mati) tidak dapat dikenakan pada korporasi. Namun , oleh karena korporasi lazimnya bergerak dibidang busines, maka dapat dijatuhi hukuman jika pelanggaran hukum yang dilakun memiliki unsur diterrent, yaitu berbagai tindakan administratif yang bertitik sentral pada dan berkaitan langsung dengan bidang busines/usaha korporasi.
Kejahatan korporasi, termasuk klasifikasi “economic crime” yang tidak jarang menyangkut transaksi hubungan dagang yang sangat kompleks dan rumit, sehingga aparat penyidik mengalami kesulitan untuk menentukan apakah perbuatan berupa transaksi hubungan dagang dari korporasi itu telah memasuki bidang hukum pidana atau masih didalam penyidikan akan menemukan sejumlah dokumen yang sangat asing dan jarang ditemui oleh aparat penyidik khusus yang ahli di bidang itu , juga memerlukan kecermatan dan ketelitian. Aparat penyidik yang sudah berpengalaman sekalipun akan mengalami kesulitan dalam melakuan penyidikan terhadap kejahatan korporasi. Bilamana dipaksakan maka sudah barang tentu kualitas hasil penyidikan mungkin jauh dari pada yang diharapakan, akhirnya pada tingkat penuntunya pun akan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, perlu adanya modernisasi dan inovasi didalam teknik penyidikan dengan cara membentuk tim gabungan (satuan tugas) yang terdiri dari penyidik-penyidik senior dan penuntut umum senior yang memili pengalaman luas serta dididik dan dilatih secara terintegrasi, kemudian didalam kasus tertentu satuan tugas tersebut dapat diperkuat dengan ahli-ahli dibidang per-Bak-an atau akutan.
Salah satu hambatan yang sering dijumpai oleh satuan tugas adalah terhadap bukti-bukti yang penting tidak dapat ditemukan, karena didalam kasus tertentu ternyata saksi dan korbannya enggan untuk memeberikan keterangan atau enggan untuk bekerjasama karena merasa akan lebih aman jika pelakunya tidak dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, maka perlu adanya pendekatan inovatif pada teknik penyidikan, sehingga dapat menumbuhkan semngat warga masyarakat untuk lebih berpartisipatif aktif didlam pemberantasan kasus-kasus kejahatan ekonomi. Dengan pendekatan mana diharapakan akan terbentuk, suatu intiusi yang terjadi dan bersumber kepada lembaga formal dalam bentuk kerjasama terintegrasi antara criminal dan non-criminal.
Sumber :
Oleh Akmal, Kamis, 18 Maret 2010
http://artikeldanopini.blogspot.com/2010/03/kejahatan-korporasi-dalam-perspektif_28.html
DEVI MIRANTI PERTIWI/ 11210879
4EA10