Rabu, 20 November 2013

ETIKA UTILITARIANISME DALAM BISNIS

1. Etika Utilitarianisme
Etika utilitarianisme adalah tentang bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan social politik, ekonomi dan legal secara moral.

2. Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
a. Manfaat
b. Manfaat terbesar
c. Manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang

3. Nilai Positif Etika Utilitarianisme
a. Rasionalistas
b. Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral
c. Universalitas

4. Utilitarianisme Sebagai Proses dan Sebagai Standar Penilaian
a. Etika utilitarianisme digunakan sebagai proses untuk mengambil keputusan, kebijaksanaan atau untuk bertindak.
b. Etika Utilitarianisme sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan.

5. Analisis Keuntungan dan Kerugian
Manfaat dan kerugian sangat dikaitkan dengan semua orang yang terkait, sehingga analisis keuntungan dan kerugian tidak lagi semata-mata tertuju langsung pada keuntungan bagi perusahaan.
a. Analisis keuntungan dan kerugian dalam kerangka etika bisnis:
Keuntungan dan kerugian, yang dianalisis tidak dipusatkan pada keuntungan dan kerugian perusahaan.
b. Analisis keuntungan dan kerugian tidak ditempatkan dalam kerangka uang.
c. Analisis keuntungan dan kerugian untuk jangka panjang.

6. Kelemahan Etika Utilitarianisme
a. Manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis akan menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit.
b. Etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan niali suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya.
c. Etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang.
d. Variable yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.
e. Seandainya ketiga criteria dari etika utilitarianisme saling bertentangan, maka akan ada kesulitan dalam menentukan prioritas di antara ketiganya.
f. Etika utilitarianisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas.



Sumber :
DR. A. Sonny Keraf. 2006. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
http://susianty.wordpress.com/2010/11/21/etika-utilitarianisme-dalam-bisnis/



DEVI MIRANTI PERTIWI/11210879
4EA10

Senin, 18 November 2013

Penerapan Etika Utilitarianisme pada Perusahaan

ETIKA UTILITARIANISME Adalah suatu kebijaksanaan atau tindakan itu baik dan tepat secara moral jika dan hanya jika kebijaksanaan atau tindakan tersebut mendatangkan manfaat atau keuntungan untuk orang banyak. Etika ini memiliki 3 kriteria antara lain manfaat, manfaat terbesar, dan bagi sebanyak mungkin orang.

PENERAPAN ::

PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia. Kami memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.
PT Freeport Indonesia merupakan jenis perusahaan multinasional (MNC),yaitu perusahaan internasional atau transnasional yang berkantor pusat di satu negara tetapi kantor cabang di berbagai negara maju dan berkembang..

Contoh kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia :
• Mogoknya hampir seluruh pekerja PT Freeport Indonesia (FI) tersebut disebabkan perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh manajemen pada operasional Freeport di seluruh dunia. Pekerja Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam USD 1,5–USD 3. Padahal, bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15–USD 35 per jam. Sejauh ini, perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras menolak tuntutan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya.
• Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006).
Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.

Sebagai perusahaan berlabel MNC (multinational company) yang otomatis berkelas dunia, apalagi umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja adalah bagian dari aset perusahaan. Menjaga hubungan baik dengan pekerja adalah suatu keharusan. Sebab, di situlah terjadi hubungan mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan membutuhkan dedikasi dan loyalitas agar produksi semakin baik, sementara pekerja membutuhkan komitmen manajemen dalam hal pemberian gaji yang layak.
Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia terbukti tidak memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif yang sangat mendasar. Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada PT FI, privilege berlebihan, ternyata sia-sia.

Berkali-kali perjanjian kontrak karya dengan PT FI diperpanjang kendati bertentangan dengan UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Alasan yang dikemukakan hanya klasik, untuk menambah kocek negara. Padahal, tidak terbukti secara signifikan sumbangan PT FI benar-benar untuk negara. Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya, sumbangan Freeport untuk negara Amerika, bukan Indonesia.

Justru negara ini tampak dibodohi luar biasa karena PT FI berizin penambangan tembaga, namun mendapat bahan mineral lain, seperti emas, perak, dan konon uranium. Bahan-bahan itu dibawa langsung ke luar negeri dan tidak mengalami pengolahan untuk meningkatkan value di Indonesia. Ironisnya, PT FI bahkan tidak listing di bursa pasar modal Indonesia, apalagi Freeport-McMoran sebagai induknya.
Keuntungan berlipat justru didapatkan oleh PT FI dengan hanya sedikit memberikan pajak PNBP kepada Indonesia atau sekadar PPh badan dan pekerja lokal serta beberapa tenaga kerja asing (TKA). Optimis penulis, karena PT FI memiliki pesawat dan lapangan terbang sendiri, jumlah pasti TKA itu tidak akan bisa diketahui oleh pihak imigrasi.

Kasus PT. Freeport Indonesia ditinjau dari berbagai teori etika bisnis :
• Teori etika utilitarianisme
Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”.
Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Berdasarkan teori utilitarianisme, PT.Freeport Indonesia dalam hal ini sangat bertentangan karena keuntungan yang di dapat tidak digunakan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar, melainkan untuk Negara Amerika.
• Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku.
Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama.
Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
Dalam kasus ini, PT Freeport Indonesia sangat tidak etis dimana kewajiban terhadap para karyawan tidak terpenuhi karena gaji yang diterima tidak layak dibandingkan dengan pekerja Freeport di Negara lain. Padahal PT Freeport Indonesia merupakan tambang emas dengan kualitas emas terbaik di dunia.


Kesimpulan
Dari pembahasan dalam bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa PT Freeport Indonesia telah melanggar etika bisnis dimana, upah yang dibayar kepada para pekerja dianggap tidak layak dan juga telah melanggar UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Karena PT FI berizin penambangan tembaga, namun mendapat bahan mineral lain, seperti emas, perak, dan konon uranium. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006).

Saran
Sebaiknya pemerintah Indonesia, dalam hal ini menteri ESDM, melakukan renegosiasi ulang terhadap PT FI. Karena begitu banyak SDA yang ada di Papua ,tetapi masyarakat papua khususnya dan Negara Indonesia tidak menikmati hasil dari kekayaan alam yang ada di papua. Justru Amerika lah yang mendapat untung dari kekayaan alam yang ada di papua. Atau kalau tidak dapat di negosiasi ulang dan hak para pekerja tidak terpenuhi, lebih baik pemerintah menasionalisasi PT FI supaya masyarakat papua khususnya dan Indonesia dapat menikmati SDA yang ada di bumi Indonesia.



Ref :
http://www.scribd.com/doc/18575776/ETIKA-BISNIS
http://www.radarjogja.co.id/ruang-publik/10-opini/22973-menyoal-etika-bisnis-freeport.html


DEVI MIRANTI PERTIWI/11210879
4EA10

Senin, 04 November 2013

Kejahatan Korporasi Dalam Perspektif Hukum

Kejahatan korporasi “corporate crime” dapat diartikan sebagai suatu bentuk kerjasama (kelompok) yang sifatnya terstuktur dalam suatu tindak kejahatan (pidana). Masalah “kejahatan korporasi” (corporate crime) akhir-akhir ini menjadi pembicaraan yang hangat dan menarik dipermasalahkan, dalam kaitannya dengan upaya pemerintah untuk menaggulangi kejahatan ekonomi (economic crime). Kejahatan ekonomi merupakan kejahatan yang sering menimbulkan akibat serius karena dapat merusak struktur dan sistem ekonomi nasional bahkan mungkin dapat mempengaruhi ekonomi global. Indonesia sebagai negara berkembang dengan suasana melajunya proses pembangunan telah membuahkan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat, sementara pada sisi lain merasakan adanya tendensi jenis kriminalitas tertentu yaitu kejahatan ekonomi yang apabila dipandang dari segi kualitas menunjukkan adanya peningkatan. Secara kualitatif, dari waktu ke waktu mengalami perubahan dengan cepat, seirama dengan bergerak majunya proses pembangunan, terutama didalam kaitannya dengan pemanfaatan teknologi modern. Dikatakan demikian karena selain para pelaku kejahatan, umumnya tergolong skilled person yang mampu memanfaatkan teknologi modern juga didalam kegiatannya terhimpun didalam suatu organisasi yang rapi dan menjurus ke arah modus “kejahatan korporasi.”
Harus disadari bahwa perhatian terhadap kejahatan korporasi pada masa silam belum begitu mendalam bahkan dapat dikatakan masih terpusat pada kejahatan konvensional. Kurangnya perhatian para ahli kriminologi dan sosiologi terhadap kejahatan korporasi, besar kemungkinan disebabkan adanya beberapa hal antara lain:
a. Kompleksnya sifat kejahatan yang terorganisir secara rapi (organized crime), selain dari pada itu karena rumitnya struktur korporasi. Ini berarti untuk melakukan penelitian membutuhkan keahlian khusus.
b. Pada umumnya perangkat perUndang-Undangan tentang korporasi disusun oleh para birokrat tanpa melibatkan para praktisi dibidang criminal justice agencies.
c. Sementara dinegara berkembang seperti Indonesia, kejahatan korporasi merupakan hal yang baru, sehingga penyediaan dana untuk menyelenggarakan penelitian dari para ahli lebih tercurah pada kejahatan konvensional, jika dibandingkan dengan kejahatan korporasi.
Dalam pemahaman sebagaimana yang terurai diatas, bahwa “kejahatan korporasi” adalah termasuk kategori sebagai “organizational crime” yang terjadi dimana para pelaku (perpetrators) didalam aktifitas perbuatannya terdapat korelasi yang sangat erat dan kompleks yang berorientasi dalam basis organisasi korporasi dan bukan karena jabatannya.
Selain itu perlu dibedakan antara fungsi organisasi sebagai hubungan tata kerja secara struktural untuk menyalurkan berbagai tanggung jawab atau alat untuk menjamin terpeliharanya koordinasi kerja yang baik dengan fungsi korporasi sebagai wadah kegiatan organisasi, walaupun keduanya merupakan wahana (vehicle) untuk melancarkan aktifitas di dalam melakukan kejahatan. Selain perlu adanya pembedaan fungsi organisasi dengan fungsi korporasi, juga perlu dibedakan “titik sentral perbuatannya” yang menyangkut tujuan atau kepentingannya karena akan memberikan konsekuensi yang berbeda. Dalam hal beberapa orang eksekutif (corporate excecutive) telah melakukan perbuatan pidana baik atas nama probadi maupun atas nama korporasi yang dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan korporasi, maka perbuatan demikian dapat dikatakan sebagai “kejahatan korporasi”. Akan halnya jika eksekutif korporasi melakukan perbuatan pidana yang menyimpang dari tujuan korporasi, misalnya melakukan “penggelapan” sehingga mendatangkan keuntungan pribadi hal mana terjadi semata-mata dalam kaitannya dengan jabatan di dalam korporasi, maka perbuatan itu disebut sebagai “white collar atau occupational crime.”
Berbicara tentang “kejahatan korporasi” tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang “organized crime”. Hal ini dikarenakan dalam korporasi terdapat organisasi tata kerja yang memiliki eksistensi yang sangat dominan didalam mencapai tujuan korporasi, sehingga terdapat korelasi keterkaitan satu sama lain. Terminologi “organized crime” dapat dilawankan dengan “personal crime” yang memiliki basis pada orang
Dengan maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi (Personal gain) dan tidak ada hubungannya dengan Personal Business.berbeda dengan Orgainized crime, dimana kejahatan ini dilakukan oleh dan melibatkan beberapa orang yang terkoordinir secara struktural, para anggotanya berdisiplin tinggi dan beberpa orang diantaranya memiliki keahlian tertentu. Tujuan utamanyauntuk memperoleh keuntungan di bidang ekonomi (Economic gain), walaupun kadang-kadang sementara anggota memiliki tujuan guna memperkuat status dan kekuasaannya. Didalam skala besar kadang Organized Crime dikendalikan oelh beberpa sindikat yang di kenal Mafia, serta lazimnya bergerak dibidang, Business secara illegal bahkan memiliki pula business yang bersifat legal. Organisasinya sangat rapi sehingga tidak mudah terdeteksi oleh aparat keamanan, maka untuk menanggulangi kejahatan tersebut memrlukan teknik dan pendekatan khusus serta waktu yang panjang.
Sebagaimana disinguung bahwa”koporasi” sebagai wadah seluruh kegiatan organisasi Business, dapat dijadikan wahana untuk melakuakan kejahatan yang dalam hal ini dilakukan oleh para eksekutif korporasi. Begitu banyaknya jenis serta struktur organisasi korporasi dan pada umumnya berbentuk badan hukum resmi, sehingga suliot untuk mengetahui liku-liku kegiatan operasional badan usaha/ korporasi dimaksud.
Didalam konteks “Low enforcement” terhadap kejahatan korporasi, dihadapkan pada tiga masalah penting yaitu:
a. Tentang pertanggungjawaban pidana daripada korporasi
b. Sistem pemindaan terhadap korporasi
c. Teknik penyidikan yang efektif
Pembentukan korporasi sebagai badan hukum, umumnya dituangkan dalam akta pendirian, diantaranya memuat tentang nama korporasi jenis kegiatan usahanya serta susunan pengurus yang layak bertanggung jawab untuk dan atas nama korporasi. Oleh karena itu, maka secara fisik semua kegiatan korporasi diwakili oleh satu atau beberpa eksekutif korporasi, konsekuensi logis secara teoritis manakala korporasi melakukan kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari pada perbuatan para eksekutifnya. Para eksekutif korporasi pada hakekatnya adalah tidak lebih dari pada individu-individu yang bertindak bersama-sama karena adanya keterikatan didalam korporasi,sebagai kesatuan tata hubungan kerja yang bersifat khusus. Persinifikasi yang terwujud didalam suatu sistem mekanisme, terhimpun didalam suatu mata rantai kesatuan hubungan kerja, selain bergerak dibinag hukum perdata juga dapat memasuki bidang hukum pidana.
Apabila ternyata eksekutif korporasi didalam kegiatannya telah melanggar hukum pidana kendatipun mereka melakukan perbuatan semata-mata untuk kepentingan atau keuntungan korporasi, maka kepada pribadi para pelakulah yang layak diminta pertanggungjawaban secara pidana, bukan kepada korporasinya yang secara fisik tidak ada. Jalan pemikiran lain ialah seandainya “korporasi” dapat dihukum, sudah barang tentu akan menimpa seluruh pemegang saham, yang incasu para pemegang saham dimaksud sama sekali tidak mengetahui ikhwal kejahatan yang dilakukan oleh eksekutif korporasi, sehingga secara hukum merek tidak layak untuk diminta pertanggungjawaban apalagi jika mereka harus menerima hukuman. Dilain piha k dari sistem pemindaan yang ada, juga sulit menemukan hukuman mana yang paling tepat untuk korporasi, yang jelas hukuman badan (penjara, kurungan atau hukuman mati) tidak dapat dikenakan pada korporasi. Namun , oleh karena korporasi lazimnya bergerak dibidang busines, maka dapat dijatuhi hukuman jika pelanggaran hukum yang dilakun memiliki unsur diterrent, yaitu berbagai tindakan administratif yang bertitik sentral pada dan berkaitan langsung dengan bidang busines/usaha korporasi.
Kejahatan korporasi, termasuk klasifikasi “economic crime” yang tidak jarang menyangkut transaksi hubungan dagang yang sangat kompleks dan rumit, sehingga aparat penyidik mengalami kesulitan untuk menentukan apakah perbuatan berupa transaksi hubungan dagang dari korporasi itu telah memasuki bidang hukum pidana atau masih didalam penyidikan akan menemukan sejumlah dokumen yang sangat asing dan jarang ditemui oleh aparat penyidik khusus yang ahli di bidang itu , juga memerlukan kecermatan dan ketelitian. Aparat penyidik yang sudah berpengalaman sekalipun akan mengalami kesulitan dalam melakuan penyidikan terhadap kejahatan korporasi. Bilamana dipaksakan maka sudah barang tentu kualitas hasil penyidikan mungkin jauh dari pada yang diharapakan, akhirnya pada tingkat penuntunya pun akan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, perlu adanya modernisasi dan inovasi didalam teknik penyidikan dengan cara membentuk tim gabungan (satuan tugas) yang terdiri dari penyidik-penyidik senior dan penuntut umum senior yang memili pengalaman luas serta dididik dan dilatih secara terintegrasi, kemudian didalam kasus tertentu satuan tugas tersebut dapat diperkuat dengan ahli-ahli dibidang per-Bak-an atau akutan.
Salah satu hambatan yang sering dijumpai oleh satuan tugas adalah terhadap bukti-bukti yang penting tidak dapat ditemukan, karena didalam kasus tertentu ternyata saksi dan korbannya enggan untuk memeberikan keterangan atau enggan untuk bekerjasama karena merasa akan lebih aman jika pelakunya tidak dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, maka perlu adanya pendekatan inovatif pada teknik penyidikan, sehingga dapat menumbuhkan semngat warga masyarakat untuk lebih berpartisipatif aktif didlam pemberantasan kasus-kasus kejahatan ekonomi. Dengan pendekatan mana diharapakan akan terbentuk, suatu intiusi yang terjadi dan bersumber kepada lembaga formal dalam bentuk kerjasama terintegrasi antara criminal dan non-criminal.

Sumber :
Oleh Akmal, Kamis, 18 Maret 2010
http://artikeldanopini.blogspot.com/2010/03/kejahatan-korporasi-dalam-perspektif_28.html




DEVI MIRANTI PERTIWI/ 11210879
4EA10